Dialah Yang Awal, Yang Akhir (al-Hadid [57]: 3). Kata awal dan akhir menunjukkan kepada kita bahwa ada sebuah falsafah proses perjalanan menempuh waktu : dari awal hingga akhir. Apakah haki-katnya yang awal itu? Dan apakah hakikatnya yang akhir ?
Ketika semesta alam baru diciptakan, sudah pasti ada suatu kehendak yang diwujudkan melalui kekuatan dahsyat yang lahir dari sebuah kekuasaan. Kekuasaan dan kehendak ini disebut qudrah dan iradatullah (kuasa dan karsa Allah). Jadi, sifat Al-Awwal Tuhan hakikatnya adalah qudratullah dan irâdatullah.
Berawal dari qudrah dan iradah-Nya, Tuhan menciptakan manusia untuk berproses menuju ke yang akhir. Al-Akhir (yang akhir) adalah rahimiyyah Allah; berarti akhir dari tujuan hidup manusia adalah menggapai rahimiyyah Allah (kasih sayang Allah). Siapakah yang mampu menggapai rahimiyyah Allah ? Tentu bukan orang-orang yang dimurkai Allah, melainkan orang-orang yang diridai-Nya. Jadi, semua proses perjalanan hidup manusia hendaklah berorientasi pada upaya penggapaian rida Tuhan (mardhatillah).
Sungguh tidak gampang untuk bisa menggapai rida Tuhan. Untuk mencapai al-akhir (mardhatillah) harus dimulai dari al-awwal (qudratullah dan iradatullah). Al-Awwal merupakan suatu masa tatkala yang ada hanya Allah dan ketiadaan. Dari ketiadaan diwujudkan-Nya menjadi semesta alam: matahari, bintang-bintang, dan galaksi-galaksi. Benda-benda langit itu telah diciptakan Tuhan bermiliar-miliar tahun yang lalu. Bandingkan dengan kita yang baru dicipta-kan (dilahirkan) beberapa puluh tahun yang lalu.
Selama bermiliar-miliar tahun sebelum kita lahir, tak sesuatu pun yang kita ketahui. Masa itu sebagai suatu masa yang sangat gelap. Dari masa yang sangat gelap kita dilahirkan sehingga menjadi terang. Namun, terang yang hanya sebentar kemudian kembali menjadi gelap gulita tatkala kita mati juga bermiliar-miliar tahun lamanya. Hidup ini ibarat kilatan sinar terang di antara dua samudra kegelapan : sebelum lahir dan sesudah mati. Meskipun terang hanya sebentar, Tuhan membebani kita supaya sanggup menerangi dua samudra kegelapan itu. Jangkauan waktu antara bermiliar-miliar tahun sebelum lahir dan bermiliar-miliar tahun setelah mati, sungguh terlalu jauh untuk diukur. Untuk mengukur jangkauan yang tidak mungkin diukur menurut akal, Allah memberikan alat (teknik, metodologi) yang disebut agama. Agama memberikan tata cara hidup agar kita bisa menerangi samudra kegelapan sebelum kita lahir dan samudra kegelapan setelah kita mati.
Tawakal dan Takwa
Agama menuntun manusia agar dalam satu masa kehidupannya yang sebentar, dia sanggup menempuh dan menerangi dua perjalanan: perjalanan ke al-awwal (menuju qudrah dan iradatullah) dan perjalanan ke al-akhir (menuju mardhatillah). Perjalanan ke al-awwal disebut tawakkul (transendensi), sedangkan perjalanan ke al-akhir disebut taqwa (transformasi). Orang yang bertawakal akan menemukan diri berasal dari qudrah dan iradatullah, sedangkan orang yang bertakwa akan menemukan diri sebagai orang yang diridai (mardhatillah).
Untuk bisa bertawakal, seseorang harus sanggup melakukan transendensi-transendensi sebagai berikut :
1. Mengubah Peran Diri menjadi Peran ‘Abdillah
Sejak lahir, seseorang akan menemukan diri sebagai anak bumi: orang Jawa, orang Cina, orang Amerika, penduduk bumi, dan lainnya. Temukanlah dirimu bukan lagi sebagai orang Jawa, Cina, atau Amerika, melainkan sebagai hamba Allah. Katakanlah terus-menerus (dalam salat) iyyaka na’budu (kepada-Mu kami mengabdi), niscaya akan tumbuh kesadaran untuk mengabdi sebagai hamba (abdi, pesuruh) Allah. Dengan menemukan diri sebagai hamba Allah, seseorang akan menemukan orang lain juga sebagai hamba Allah. Dengan demikian, hubungan seseorang dengan orang lain menjadi utuh, kita adalah satu : sama-sama tercipta atas qudrah dan iradah-Nya. Jadi, salat adalah teknik yang diberikan Tuhan agar seseorang sanggup mentransendensi peran diri menjadi peran ‘abdillah.
Ilustrasi Gambar, Sumber : TabloShop-Bismillah
Bersambung di Rahasia Basmalah (3)
Luas Area | 488 m2 |
Luas Bangunan | 256 m2 |
Status Lokasi | Wakaf |
Tahun Berdiri | 2022 |